Curahan Hati Sebuah Pohon Kecil

Hari ini matahari terik menyengat, sebagian besar anak-anak bergegas pulang kembali ke rumah masing-masing. Seperti biasa kau berkumpul dengan sekelompok temanmu di suatu tempat, tempat yang memberi kenyamanan bagimu dan teman-temanmu. Kau menyebutnya sebagai markas besarmu. Tempat itu dekat dengan tempatku. Tempat di mana selama ini aku bertahan hidup. Banyak orang yang tak peduli akan keberadaanku. Termasuk kau. Hanya sinar matahari pagi yang memberiku semangat untuk bertahan hidup, dan rasa belas kasihan orang yang memberiku minum untuk melepas dahagaku ini.
Siang itu kau berbincang dengan seorang teman perempuanmu yang aku tahu bernama Dyna. Sepertinya kau terlihat sangat asyik. Sampai kau tak menghiraukan aku yang ada tepat berada di sampingmu. Aku hanya terdiam mendengar semua perbincangan kau dengannya. Aku merasa iri, ingin rasanya aku menjadi bagian dalam perbincangan yang menarik itu. Aku ingin berada di tengah kalian dan dapat dengan bebas mengutarakan semua perasaanku selama ini. Tapi, apa yang bisa aku lakukan, aku hanya bisa terdiam. Saat itu, tak satupun orang yang peduli denganku. Di tengah perbincangan, seseorang mendekatimu. Memanggilmu dengan sebutan Dimas.
“Oiy,.. Dimas…”
“Ya,..ada apa Ton?” suaramu yang terdengar sangat khas.
“Pinjem HP dong…” pinta temanmu itu yang ku tahu bernama Toni.
Lalu kau mengeluarkan sebuah handphone dari saku celanamu dan memberikannya pada Toni, teman yang biasa berkumpul bersama di markas besar itu. Kemudian Toni membawa handphonemu pergi sambil menekan digit angka yang ada pada handphone itu.
Telah lama aku mengenalmu, tapi baru kali ini aku tahu bahwa kau bernama Dimas, Dimas yang dulu pernah ku kagumi. Tapi kini tidak. Aku sadar, kau takkan pernah tahu dan takkan pernah peduli karena aku hanyalah bagian kecil darimu. Kau meneruskan perbincanganmu dengan Dyna. Perempuan yang sejak tadi ada di sampingmu.
Beberapa saat kemudian Toni datang dan membawa handphonemu kembali. Toni tahu, kau sedang asyik berbincang dengan Dyna, sampai kau tak sadar bahwa Toni mengajakmu bicara. Toni membiarkanmu terlarut dalam perbincanganmu dengan Dyna. Kemudian, dia menitipkan handphonemu padaku lalu meninggalkannya.
Tak terasa hari semakin senja, matahari yang tadi terasa terik perlahan menjadi hawa sejuk. Kau menghentikan pembicaraanmu dengan Dyna dan bermaksud pulang meninggalkan markas besarmu.
Oh, tidak. Kau lupa mengambil handphonemu padaku. Aku memanggilmu, tapi kau tak mendengar karena kau sudah terlalu jauh dari tempatku. Ah, sudahlah ku pegang handphone ini untuk sementara, biar besok kau yang mengambil di tempatku.
Hari semakin gelap, aku mulai merasa kedinginan. Aku ingin beristirahat untuk sejenak.
”Kring...kring...” Suara handphonemu berdering. Ada sebuah panggilan.
Ingin aku menjawab panggilan itu, tapi tak bisa karena handphone ini bukan milikku. Aku tidak berhak menjawabnya. Tiba-tiba ada seseorang yang menghampiri tempatku, memandangiku dengan penuh rasa heran. Dia melihat sebuah handphone yang sedang ku pegang. Tanpa pikir panjang, orang itu memaksa mengambil handphonemu dari genggamanku, aku pun tak berdaya melawan. Orang itu membawa handphonemu pergi jauh dari tempatku. Aku berteriak sekuat tenaga, tapi tak ada yang bisa menolongku. Teman-teman setiaku-pun tak berdaya, hanya bisa melihat, membiarkan orang itu lari membawa handphonemu.
Aku menangis sejadi-jadinya. Aku menyesali diriku sendiri. Mengapa aku tak bisa menjaga barang kesayangan orang yang pernah ku kagumi. Tak lama kemudian kau kembali ke tempatku, dan mencari handphonemu yang tadi Toni titipkan padaku. Kau tak bertanya padaku, kau hanya memasuki markas besarmu dan mengobrak-abrik semuanya. Kau terus mencari handphonemu yang tadi dibawa lari oleh orang itu.
Aku menyesali kejadian tadi, ”Dimas, maafkan aku. Aku menyesal. Tolong maafkan aku.”
Aku terus memohon padamu agar memberiku maaf, tapi sepertinya kau tak peduli. Kau terus megobrak-abrik markas besarmu. Kemudian kau pergi dalam kebigungan. Sungguh aku benar-benar merasa tak berguna. Membiarkan orang itu mengambil handphonemu dari genggamanku sendiri. Aku tak berdaya.
Keesokan harinya kau berkumpul bersama teman-temanmu. Namun, kau terlihat tak seperti biasanya. Sedih, menyesal, bingung, rapuh. Itulah yang ku lihat di dirimu. Teman-temanmu terus memberimu semangat. Namun, sebuah senyuman tak kunjung terpancar dari bibirmu.
“Ayo Dimas semangat, jangan sedih terus dong..” ucap salah seorang temanmu.
Kau hanya terdiam menyesali semuanya. Hanya sedikit senyum semu terlihat untuk mengurangi rasa resah teman-temanmu yang begitu menyayangimu. Kau begitu sedih, bingung memikirkan apa yang harus kau katakan pada orangtuamu. Kau telah bertanya pada semua orang, namun tak ada yang tahu. Toni hanya bilang bahwa dia telah menitipkannya padaku. Saat kau bercerita tentang hilangnya handphonemu, matamu memerah, kemudian kau menunduk. Seperti ingin mengeluarkan air mata yang sejak semalam kau tahan.
Melihatmu begitu, hatiku teriris. Aku sungguh merasa bersalah. Aku sudah minta maaf, namun kau tak mempedulikanku. Aku takut kau membenciku. Kau terus memandangku dengan penuh harap akan kembalinya handphonemu.
Saat semua tak ada yang peduli denganku, Dyna mendekatiku. Dengan halus dia bertanya padaku, ”Kamu tahu di mana handphone Dimas?”
Aku menjawabnya, aku menjelaskan semua yang terjadi semalam padanya. Tapi sepertinya dia tak mengerti. Bahkan beberapa temannya menuduh aku yang menyembuyikan handphone Dimas sambil tertawa melihat Dyna yang sedang berbicara padaku. Sungguh, kalaupun aku mampu menyembunyikan handphone Dimas, orang itu tak kan bisa merebutnya dariku. Akan ku berikan handphone itu pada Dimas, hingga ia dapat tersenyum kembali.
Tapi apa dayaku? Aku hanya bisa diam saat orang itu merebut handphone Dimas dariku. Aku hanya bisa diam dan menangis kesakitan saat banyak orang melukaiku. Tak ada satupun orang yang mengerti aku. Mereka tak peduli denganku. Karena aku hanyalah sebuah pohon kecil yang hampir mati karena hujan tak kunjung turun ke bumi. Pohon kecil dalam sebuah pot hijau kelabu yang dulu pernah kau berikan padaku. Tak ada orang yang memberi rasa belas kasihan untukku. Air mata Dimas yang jatuh di telingaku, membuatku ingin terus bertahan hidup dan senantiasa melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Membayar semua kesalahan yang telah ku lakukan padanya.
”Dimas, maafkan aku. Aku tak bisa menolongmu. Aku tak bisa menghiburmu di kala kau sedang sedih. Bahkan aku tak bisa memberimu kesejukan saat kau berada di dekatku. Karena aku hanyalah sebagian kecil darimu. Sebagian kecil oksigen di udara yang kau hirup dari tubuhku. Aku hanyalah sebuah pohon kecil yang ku rasa tak begitu berarti bagimu.”
”Sebuah pohon kecil yang bodoh, berkhayal bisa menjadi bagian yang terpenting bagi umat manusia, tapi kenyataan memperlihatkan bahwa di mata mereka aku tak berarti. Karena aku hanyalah sebuah pohon kecil.”

THE END

By: LeKa ”toeng-toeng”

1 komentar:

smart mengatakan...

adddddddduh buuuuuuu plis deh jangan gilaaaaaaaaa dooooooooooong..
w paling malay ngliat bacaan yang penuh......
gitu...