Love is Sacrifice


Pagi hari yang cerah, burung-burung berkicau riang, angin sejuk berhembus membuat tubuh terasa malas beranjak dari tempat tidur. Memulai hari, hari yang akan penuh dengan tantangan. “Tania…bangun Tan!!”, teriakan ibu yang sudah tak asing lagi bagi Tania, gadis berumur 15 tahun yang baru saja lulus dari sekolah menengah. Kini, ia akan memulai hari baru di sekolah yang ia cita-citakan, SMA Tunas Bangsa. Tubuh Tania masih terasa lemas, sementara matahari makin memancarkan sinarnya dari ufuk timur. Terpaksa Tania harus menghilangkan rasa malasnya. Tania beranjak dari tempat tidurnya, mengambil handuk yang sudah siap di atas meja. Berjalan menuju kamar mandi, sebelum sampai, ia mencicipi lezatnya masakan ibu yang telah siap disantap.

”Ehm...enaaaak..”.

”Iiih, dasar jorok anak ibu!! Mandi dulu sana! Nanti baru sarapan. Ayo cepet nak! udah siang tuh!” celoteh ibu. Tania hanya mengangguk-angguk dan tersenyum mendengar celotehan ibu yang sejak pagi buta telah terdengar.

Pukul 07.00 WIB tepat, bel berbunyi. Membuat Tania yang sedang asik duduk di kelas harus segera turun ke lapangan untuk mengikuti upacara MOS. Satu jam lamanya upacara MOS berlangsung, namun terasa tiga jam untuk gadis tidak sabaran seperti Tania. Upacara MOS selesai, acara dilanjutkan oleh kakak-kakak kelas. Mereka memberi pengarahan pada adik barunya untuk lebih jauh mengenal semua tentang SMA Tunas Bangsa. Selama tiga hari ke depan, Tania dan teman-teman seangkatannya akan menghadapi penggojlokan yang telah lama disiapkan oleh kakak kelas.

Tiga hari yang cukup mencekam telah dilewati, rasa takut telah hilang, saat yang ditunggu-tunggu oleh Tania selama tiga hari ini, Upacara Penutupan MOS. Pemimpin upacara menyiapkan segalanya, pasukan bendera, pengatur upacara, beserta peleton-peleton telah siap berdiri di lapangan. Rintik gerimis melengkapi momen yang paling ditunggu itu.

Pemimpin upacara mengistirahatkan seluruh pasukannya, ”Untuk perhatian, istirahat di tempaaaaaatt grrraaaakkkk!!”.

Sementara pasukan bendera telah siap memasuki lapangan, ”Bendera siap!” ucap salah satu pengibar bendera yang berada paling barat.

Lalu, pemimpin upacara segera memberi komando, ”Kepada, Sang Merah Putih, hormaaaaatttt grrraaaaakkk!!”.

Ada yang salah di sini, pemimpin upacara lupa menyiapkan seluruh pasukannya sebelum memberi hormat pada Sang Saka.

”Ulangi!!”, ucap seluruh pasukan.

”Kepada, Sang Merah Putih, hormaaaatt grrraaaaakk!!”.

”Ulangi!!”.

Rupanya pemimpim upacara tidak menyadari bahwa ada kesalahan komando yang ia berikan, hal itu terulang sampai tiga kali. Tania yang menjadi salah satu peserta pasukan upacara masih berbisik dengan teman-teman di dekatnya. Membicarakan kesalahan pemimpin upacara yang tak kunjung sadar. Akhirnya, upacara berakhir. Gerimis kecil masih terus menghiasi sore itu, Tania langsung berlari keluar dan melihat sebuah papan pengumuman tentang pembagian kelas baru, berjejalan tentunya. Ia melihat namanya terpampang pada lembar ke tiga. Ya, tanda bahwa ia akan duduk di kelas sepuluh tiga. Tania segera pulang dengan motornya, ia tak tahan ingin mencicipi masakan ibu yang sedapnya tiada tanding.

”Assalamu’alaikum. Bu....Tania pulang.” ucapnya lemas.

”Eh, anak ibu pulang. Gimana sekolahnya? Asik?

”Ngga deh..biasa aja. Aku masuk sepuluh tiga bu.”

”Oooohh..bagus deh, sama aja kan? Sepuluh tiga atau sepuluh satu, cuma beda nama. Duh, kok bau sih? Dah mandi dulu sana! Nanti habis itu langsung makan”

”Iiih ibu, yoi deh, beres! Aku langsung mandi kok.”

oooooo0oooooo

Hari pertama Tania masuk kelas barunya, kelas sepuluh tiga SMA Tunas Bangsa. Kalimat itu terdengar sungguh membanggakan bagi Tania. Bel berbunyi, semua anak segera masuk. Tak ada satupun yang berani menyiapkan. Pengurus kelaspun belum terbentuk.

”Duduk siap. Grak!”.

Terdengar suara lantang dari belakang. Tania jelalatan mencari sumber suara lantang itu. Ternyata, itu dia, cowok yang menjadi pemimpin upacara penutupan MOS kemarin. Fahri Radityo.

Hari itu juga, pengurus kelas sepuluh tiga ditentukan. Fahri terpilih sebagai ketua kelas, Tania sebagai sekretaris. Mulai hari ini mereka akan bekerjasama sebagai pengurus kelas selama satu tahun ke depan.

”Tan, nanti pulang sekolah ada rapat buat acara ultah sekolah. Kamu aja yang ikut ya! Aku lagi agak ga’ enak badan.” ucap Fahri.

”Lho..kok gitu.. eh, tapi, ya udah deh aku aja juga ga’ papa.”

Seperti biasa, di awal tahun memang Tania terbiasa bersemangat dengan keorganisasian. Awal yang mengasikkan untuk Tania bisa mengenal lebih dekat senior-seniornya. Pukul 16.00 WIB rapat selesai. Tania pulang. Keesokan harinya, Tania melaporkan seluruh hasil rapat sore itu. Semua anak-anak menjalankan semua rencana yang telah dirancang Tania.

oooo0ooooo

Acara ulang tahun sekolah semakin dekat. Tania sibuk mempersiapkan segalanya. Anehnya, Fahri sebagai ketua kelas malah asik dengan teman-teman yang lain. Seolah-olah di sini bukan Fahri ketua kelasnya, tapi Tania-lah yang berperan penting dalam acara itu. Terkadang Tania mengeluh, tapi ia selalu berpikir bahwa itu hanya prasangka buruknya saja. Rabu, 10 Agustus 2007 acara ulang tahun sekolah dilaksanakan. Acara berjalan cukup meriah.

Hari-hari pun telah Tania lewati sebagai warga SMA Tunas Bangsa, hubungan Tania dengan Fahri semakin dekat. Suatu malam, Tania bermimpi tentang Fahri. Tania menangis dan Fahri memeluk tubuhnya erat. Suara kokok ayam jantan dan suara jam beker membangunkan Tania dari tidurnya.

”Iih..ga mungkin. Fahri. Apaan sih, dia bukan tipe gue.”

”Lho, Tania kamu ngomong sama siapa?” tanya ibu mengagetkan Tania.

”Oh, engga bu. Ibu salah denger kali. Dah ya, aku mo mandi dulu.”

Krrrrriiiiiiing....suara bel berbunyi tepat pukul 07.00 pagi. Matahari bersinar cerah, menyemangatkan suasana yang tadinya terasa tak berkesan. Seperti biasa, Pak Deni sebagai guru Matematika datang dan semua terdiam.

”Ayo anak-anak, keluarkan PR kalian!”

Tiga setengah jam lamanya pelajaran berlangsung. Tiba saatnya istirahat, waktu yang tentunya dinantikan oleh semua orang. Tania menceritakan mimpi itu pada sahabatnya, Rene.

”Whats?? Loe mimpi kaya gitu?”

”Iya.” jawab Tania singkat.

”Gawat. Gawat.Gawat.”

”Gawat gimana Ren?”

”Apa loe ada feel ma dia?” tanya Rene heran.

“Idih! Ya engga lah. Loe tau ndiri. Tipe gue bukan yang begituan. Fahri kan orang aneh. Terus nyebelin. Klo rapat-rapat ga’ pernah dateng sendiri, pasti ngelimpahin ke gue. Klo sekali-kali sih ga’ papa. Ini Ren, berkali-kali.”

”Ooooh..jadi ga’ ikhlas nih??”

”Ya bukannya ga’ ikhlas, siapa juga yang ga’ bete klo digituin terus. Mentang-mentang dia ketuanya apa. Pokoknya, Fahri engga banget deh.”

”Hohoho..ati-ati klo ngomong. Ntar kualat lho.” ledek Rene.

Bel berbunyi kembali, tanda pelajaran harus segera dimulai kembali. Fisika. Pelajaran yang paling membuat Tania bingung, dan hanya bisa berkata, ”Ya..ya..ya..”

oooo0oooo

Waktu terus berjalan, seolah ia tak ingin menunggu. Memaksa semua manusia harus terus berjalan juga. Tak boleh berhenti hingga Tuhan sebagai Sang Pencipta memerintahkan untuk berhenti. Tania seringkali bermimpi tentang Fahri. Lama-lama ia merasa bingung oleh apa yang telah terjadi pada dirinya. Merasa bahwa ia takut mengecewakan Fahri, merasa ia harus selalu ada untuk Fahri dan rasa-rasa yang lain yang selalu ia wujudkan secara refleks. Terjadi begitu saja.

Rabu pagi, Pak Deni memberi tugas Matematika yang harus dikumpulkan besok. Tania sebagai sekretaris, diminta meng-copy tugas itu. Tania meminta semua anak untuk tidak segera pulang. Tapi, sungguh ini sangat mengecewakan. Begitu Tania kembali ke sekolah, sudah tak ada satu orangpun di sana. Tania kecewa sekali, bahkan Fahri sebagai ketua kelas sudah tak ada di situ. Tania pulang dengan muka sebal.

”Kok kemarin pulang duluan sih?” tanya Tania kesal.

”Duh, sorry ya! Gue lupa.” jawab Fahri tanpa dosa.

Perasaan Tania semakin panas. Matahari terik menyengat kulitnya yang tak terbiasa oleh panas. Lelah ia rasakan, namun tak ada satupun yang menghargainya. Ini bukan untuk pertama kalinya, tapi sudah berkali-kali. Tania hanya mencoba sabar. Mencoba menjadi pengurus kelas yang baik, menjalankan tugas yang sudah menjadi tanggungjawabnya.

Semakin hari, Tania semakin kagum pada Fahri. Entah apa yang Tania kagumi dari seorang Fahri. Padahal ia tahu bahwa Fahri lebih sering membuatnya kecewa daripada membuatnya bahagia. Hari itu, hujan deras mengguyur kota Bogor. Mata pelajaran terakhir, kosong. Tak ada tugas yang ditinggalkan Bu Rona sebagai guru Fisika. Suasana kelas terdengar ribut sekali. Di pojok kelas terlihat Ririn dan teman-teman satu genk-nya bergerombol membicarakan Afghan, artis pujaannya. Tania duduk di depan kelas bersama Rene, sahabat sejatinya. Sementara anak lelaki mengerubuti layar 17”, komputer kelas yang banyak diserang virus Trojan. Asyik beradu dalam football game favorit mereka. Ada yang aneh di situ. Tak ada Fahri. Setelah satu jam berlalu, Tania baru menyadari bahwa tak ada Fahri di tengah-tengah mereka. Tania bertanya pada temannya, namun tak ada yang tahu kemana Fahri pergi. Tas, buku, dan alat tulisnya masih berserakan di atas mejanya. Tania segera berlari melewati lorong menuju Musholla, tak peduli bahwa hujan deras membasahi seragam putihnya. Mencari Fahri, meneliti seluruh pelosok daerah itu, namun Fahri tak juga terlihat. Perasaan cemas mulai menghantui Tania, takut kalau-kalau terjadi sesuatu dengan Fahri. Bel pulang berbunyi, namun ini tak membuat Tania senang. Ia malah semakin bingung.

“Duh, Fahri kemana sih? Mejanya masih berantakan, tapi orangnya ga’ ada. Jangan-jangan dia sakit lagi.” pikir Tania semakin cemas.

Tania memutuskan untuk tidak segera pulang, ia ingin memastikan bahwa tak terjadi apapun dengan Fahri. Tania menunggu Fahri ditemani guyuran hujan yang semakin lama mereda. Satu jam, dua jam, Fahri tak juga dilihatnya. Rupanya Tania mulai lelah, ingin sekali rasanya ia menyandarkan tubuhnya yang kedinginan. Sebuah jaket ia keluarkan dari dalam tasnya, ia memakainya dan memeluk erat tasnya menahan dingin.

”Tan, Tania..bangun Tan!!” ucap Fahri. Tania membuka matanya, tak terasa ia sudah tertidur selama setengah jam.

”Loe ngapain di sini? Belom pulang? Udah sore lho..” tanya Fahri menyadarkan Tania bahwa jam sudah menunjukkan pukul 17.00. Tania mengusap matanya, memandang ke arah jam dinding yang setia berdetak.

“Ya ampun, dah jam 5. Gue ketiduran di sini. Tadi gue nunggu…” hampir saja Tania keceplosan, mengatakan bahwa ia sedang menunggu Fahri.

“Nunggu apa?” tanya Fahri heran.

”Nunggu ujan.” jawaban yang konyol.

”Dasar orang aneh! Ujan kok ditungguin. Tu liat! Ujan yang loe tungguin dah pergi. Tinggal sisanya, gerimis.” Fahri menunjuk lapangan yang masih basah.

”Oh, dah pergi ya. Btw, tadi loe abis dari mana?”

”Abis rapat OSIS. Ya udah ya. Gue balik duluan.”

Fahri merapikan mejanya, memasukkan buku-bukunya ke dalam tas kemudian pergi meinggalkan Tania. Tania hanya memandangi Fahri, mengamati seluruh gelagat Fahri. Tania pulang, entah kenapa ia merasa sangat senang hari ini. Ia berteriak kegirangan, tak terasa Mio birunya berlari kencang. Gerimis masih terus membasahi seluruh jalan yang ia lalui, hari semakin gelap, semakin dingin, dan semakin sepi.

oooooo0oooooo

Telah lama Tania mengagumi Fahri, ia selalu memperhatikan setiap gerak-gerik yang ada pada diri Fahri. Memberi perhatian yang lebih hanya untuk Fahri. Namun, Fahri tak pernah sadar akan hal itu. Banyak orang yang bilang bahwa Fahri masuk dalam kategori cotaka (cowok tak peka). Seringkali Tania dibuat jengkel karena ketidakpekaannya itu. Suatu hari Tania menangis karena Fahri menyalahkan Tania atas kecerobohannya. Saat tugas Kimia, Tania tak sengaja menumpahkan larutan untuk bahan uji. Fahri terlihat marah dan kesal. Mereka telah menyiapkan segalanya sejak awal. Namun, tak sengaja Tania menyenggolnya dan larutan itu tumpah. Tania menangis, dan terus meminta maaf pada Fahri. Fahri tak menghiraukannya.

”Hiks..hiks..hiks..Ren, dia marah ama gue. Gue harus gimana?” curhat Tania pada Rene.

”Ya udahlah Tan, loe kan dah minta maaf. Lagian Fahrinya juga, masa gara-gara gitu doang dia sampe segitu marahnya ama loe. Padahal kan kemaren loe dah kerja keras bantuin dia.” ucap Rene membela Tania.

”Ya, tapi.. itu gue yang salah. Hiks..hiks..hiks..” Tania tak dapat menahan tangisnya. Ia merasa sangat takut, takut jika Fahri tak dapat memaafkannya.

”Dasar! Sok perfect banget sih jadi orang. Yang namanya percobaan kimia gitu, larutan tumpah mah dah biasa. Ini, malah dijadiin masalah besar buat dia. Gini aja deh Tan! Sekarang mending loe tenangin diri loe aja dulu. Nanti, klo masalahnya dah reda, dan emosi dia juga dah turun, baru loe coba ngomong baik-baik ma dia. Loe tau ndiri kan, Fahri. Klo lagi marah ga’ bakal bisa diajak ngomong.” terang Rene menenangkan Tania.

”Iya deh Ren, thanks ya..hiks..hiks..hiks..hiks..”

Tania terus menyesali kecerobohannya. Ia sangat takut jika Fahri tak memaafkannya. Malam itu, Tania mencoba mengirim pesan singkat untuk Fahri.

Ehm..ehm..ehmm...

Tak ada balasan. Ia mengulangi pesan itu hingga tiga kali, namun tak ada respon. Tania putus asa. Kemudian terdengar dering telepon Tania yang membuat jantungnya berdebar kencang. SMS dari Fahri. Tania cepat-cepat membaca pesan itu.

Ap Tan?? Eh, dah kRjain PR bLm lw?? kRjain dL sNa!!NtaR dHkum Bu NiNa lho..Lw tw kan..dy gaLaK baNget boo..he..he..he..

Sinyal yang bagus dari Fahri, sepertinya marahnya sudah reda. Tania langsung membalas SMS itu.

Udah dunk..he..he..w lg rajin nih.. Fahr soal itu, sorry ya!! soRyyy... bgt!! W g sngaJa..maaaaaph bgt!! Pliz, maaphin w ya!!

Soal yg mn ci?? Kan ulgn sjRh nya dah sLesai.. dah lah, ga uSah miKir soaL2 lg.. dah iLang.. Mgkn kaBur kbaWa aNgin!!!

Oooh jd dah LuPa niyh.. ya udah deh, mang baenya dLupain ja x iagh..tP sKaLi Lg w mNt maaaaaph bgt!! W nyeSel fahr.. w nyeSeL..

Apaan ci?? nyeSeL2..keSeSeL dooong buuu!!! Ha..ha..ha.. ya udaH ya!! puLz mePet niyh,, bye!!!

Sungguh, betapa senangnya Tania malam itu. Akhirnya Fahri memaafkan Tania, hubungan mereka kembali baik seperti semula. Sepertinya mereka sudah melupakan apa yang terjadi kemarin.

oooooo0oooooo

Tak terasa ulangan akhir tiba. Baik Tania maupun yang lain telah mempersiapkannya secara matang. Tania bermaksud untuk melanjutkan studinya ke jurusan Bahasa, sedang Fahri ke jurusan IPA. Ada juga yang ingin melanjutkan studinya ke jurusan IPS. Tes ulangan akhir berlangsung selama satu minggu, kini mereka telah bebas dengan segala beban yang ada. Tinggal menunggu hasil.

Anak-anak sepuluh tiga berencana untuk pergi ke Puncak pada liburan besok. Tania sebagai salah satu pengurus kelas, mulai sibuk mempersiapkan acara yang penting bagi sejarah sepuluh tiga itu. Ia merasa sedikit kesulitan menghubungi teman-teman satu kelasnya. Saat itu classmeeting berlangsung, anak-anak mulai bermalas-malasan datang ke sekolah sekedar untuk absen. Fahri sebagai ketua kelas juga tak pernah datang untuk membicarakan masalah ini. Akhirnya, teman-teman sepakat membicarakan masalah liburan ini tanpa kehadiran ketua kelas. Hari yang dinanti semakin dekat, sudah satu minggu ini Fahri tak juga terlihat batang hidungnya. Tania sudah berkali-kali mencoba menghubungi handphonenya. Tapi tak pernah aktif. Berbagai pikiran buruk tentang Fahri mulai muncul di pikiran Tania.

”Ih, Fahri. Gimana sih? Jadi ketua kelas kok ga’ tanggungjawab banget. Apalagi sejak dia jadi ketua tim basket tuh. Yang diurusin baskeeeett mulu. Kelas sendiri ga’ pernah diurus. Terus lagi, dah tau mo ada rencana liburan gini, malah ga pernah berangkat. Jangan-jangan dia malah lagi enak-enakan di rumah. Sengaja HP-nya dimatiin biar ga’ da yang ganggu. Sedangkan gue ma temen-temen sibuk ngurus ini itu. Ntar dia tinggal terima jadi gitu?. Cape deh!! Nyebelin banget sih tuh orang. Heran gue, kok gue bisa suka ma dia sih? Apa bagusnya coba.”. gumam Tania kesal.

Tania terus mecoba menghubungi Fahri, namun nomornya tidak aktif. Ia mencoba meghubungi nomor kakak Fahri. Ini langkah terakhir. Sebenarnya ia agak ragu, tapi apa boleh buat. Sebagai ketua kelas, Fahri harus ikut serta dalam rencana liburan ini.

Ass..kak,, Fahrinya ada?? Ni Tania..Q mo ngmng ma FahRi..suruh dy nyalain HPnya dong kak!! Thx ya kak..wass..

Lama Tania menunggu, namun tak juga ada balasan. Handphone Tania akhirnya berbunyi juga, ada SMS. Ternyata dari Fahri. Cukup panjang.

Ass..??Tan?? Ry ya Tan, mgKn lw mo naNya soaL w.. dah 1mg ni w mang ga mSk..Ry ya Tan..soRRyyy bgt..w mnt mav ma sMuanya..sbg pgRs kLs, mgKn lw mKir kLo w ni org yg ga bRtggJwb..tp mang bnr x ya..kRn sLaMa ni, w sRg ngLimPahin tgs ni tu bwt lw...he..he..w mnt maav ya Tan... Tania,,ju2r bbRapa hr ni w ga msk, kRn w skt. KmRn w divonis kanker daRah stadium awaL.. w mhn kLian g ush trll mmprmslhkn ni, w ga mw ngRepoTin kLian. Tan,,ry bgt ya..dgn bRt ht, kynya LbRn ke pucak nnt w g bs iKtn. w dsRh istrht, istrht, n istrht total. Sbg pngRs kLs yg hRsnya nguRus ntu msLh, w maLah ga pRnh bRgkt.. w mnt maav sob!! ..maav..mav..maav…maaaaaaavvvv bgtz…soRy ya..

Degg! Jantung Tania serasa berhenti. Tubuhnya terkulai lemas, tak bertenaga. Ia menyesal, sangat menyesal. Ia tak tahu kalau akan seperti ini. Semua pikiran buruknya tentang Fahri, semua salah. Cepat-cepat Tania menekan digit angka, menghubungi Fahri.

”Hallo...”

”Hallo..Tania” suara dari seberang sana yang tedengar sangat lemah.

”Fahr..kok ga’ bilang sih?”

“Mo bilang gimana Tan..?”

“Ya elo harusnya bilang kalo loe sakit. Kita semua ga’ ada yang tau Fahr.. Fahri, gue minta maaf.. gue minta maaf Fahr.. gue ga’ tau klo loe begini.. gue nyesel Fahr.. hiks..hiks..hiks..” Tania tak dapat lagi menahan air matanya yang sejak tadi serasa ingin tumpah.

”Ssssstttttt...Tan..gue ga’ papa..gue ga’ papa...jangan nangis dong...ssssttttt...” ucap Fahri menghentikan isak Tania. Tania mengusap air matanya, mencoba menahan tangisnya.

”Trus, gimana?? Loe ga’ ikut?”

”Ya mo gimana lagi Tan, gue ga’ boleh kecapean.”

“Ya ampun Fahri…sory ya Fahr, gue bener-bener ga’ tau. Hiks..hiks..hiks..” Air matanya kembali tumpah.

”Ga’ papa kok Tan, gue sendiri juga baru tau kemaren klo gue kena kanker darah. Sebelumnya gue sama sekali ga’ tau. Tan, sory ya Tan, gue ga’ bisa ikutan. Sebenernya gue ga’ enak banget ma anak-anak, klo gue sampe ga’ ikut. Tapi, mo gimana Tan? Gue ga’ sanggup. Maaf ya Tan!” suara Fahri terdengar semakin melemah. Tania hanya terdiam, sedih, takut, khawatir, menyesali perbuatannya yang telah berpikiran buruk tentang Fahri. Fahri meneruskan pembicaraannya.

”Tan, gue mo minta tolong ama loe. Loe mau kan?”

”Apa Fahr??”

”Loe terusin tugas gue ya! Pliz..buad yang terakhir kali sebagai ketua sepuluh tiga. Loe gantiin posisi gue ya! Gue percaya sama loe.”

Tania menarik nafasnya dalam-dalam. “OK Fahr! Gue janji. Gue bakal terusin tugas loe sebagai ketua. Tapi loe harus janji juga ma gue!”

“Janji apa?” Tanya Fahri heran.

”Loe janji, klo loe bakal cepet sembuh. Harus!!”

“Iya! beres bos! Skali lagi, gue minta maaf Tan. Slama ni, gue banyak ngerepotin loe. Maaaaavvv banget!!”

“Fahr, ga’ papa…ga’ papa…ga’ papa….ga’ papa….daaaaaan ga’ papa… Masih banyak kata ga’ papa buat loe klo loe masih terus-terusan ngerasa bersalah kaya gini. Ga’ papa Fahr.. masalah sepuluh tiga ga’ usah loe pikirin lagi. Tenang aja! Semua dah ada yang ngurus. Sekarang, mending loe konsentrasi ke diri loe sendiri. Banyak-banyak istirahat dan jangan sampe kecapean! Cepet sembuh ya Fahr!”

“Iya Tan.. makasih ya! Loe baik banget ma gue.”

“Sama-sama! Dah dulu ya Fahr. Met istirahat! Assalamua’alaikum..”

“Wa’alaikumsalam…”

Telepon putus. Tania kembali menumpahkan air matanya yang sejak tadi tertahan. Sungguh ia merasa bersalah telah berpikiran buruk tentang Fahri. Padahal sebenarnya Fahri sedang tergeletak lemas di tempat tidur. Tania merasa bahwa dialah teman yang paling jahat sedunia.

ooooo0ooooo

Pagi kembali. Matahari bersinar cerah. Tania bangun, namun wajahnya tak terlihat secerah matahari pagi ini. Ia terlihat sedih. Saat ia menuju kelas, teman-temannya sudah banyak yang menunggu untuk meneruskan rapat yang kemarin telah dilaksanakan.

”Waaah....burem amat muka loe Tan. Kayanya bakal ada berita buruk nih?” ledek salah satu temannya. Tania hanya terdiam. Memikirkan bagaimana keadaan Fahri sekarang.

“Ada apa sih Tan?? Kok keliatan sedih banget.” tanya sahabat yang selalu setia padanya, Rene.

”Fahri sakit.” jawab Tania dengan nada yang pelan.

Mendengar hal itu, semuanya terdiam. Kemudian Siska berbicara memecahkan suasana yang hening.

”Fahri sakit apa? Trus, kira-kira besok dia ikut ga?”

”Dia kena kanker darah Sis, trus katanya besok dia ga’ bisa ikut.” jawab Tania lemah, ia seperti ingin menangis, teringat oleh suara Fahri yang begitu lemah.

”Ya udah, mending sekarang kita terusin rapat kita. Berdoa aja moga semuanya baik-baik aja. Acara ini harus tetep jalan kan? Ya walaupun tanpa Fahri.” terang Rene.

”Ya, loe bener Ren!”

Akhirnya, acara liburan ke Puncak tetap berjalan. Tania sekuat tenaga berusaha menjadi ketua panitia yang baik. Ia melakukan ini demi Fahri yang saat ini sedang tergeletak di tempat tidur. Tania sedang berjuang memenuhi janjinya.

Tanpa sengaja, di sana Tania melakukan kesalahan. Ia menghilangkan bingkisan yang khusus dipersembahkan untuk wali kelas. Ia sudah mencari di seluruh tempat, tapi bingkisan itu tetap tak ada. Seluruh teman-temannya merasa jengkel dengan ulah Tania. Bahkan Rene pun ikut kecewa dengannya. Tania bingung, menyesal, dan ia-pun menangis di depan semuanya.

”Tan, loe gimana sih? Bingkisannya kok malah loe ilangin?” ucap Mimi marah.

”Sory Mi, sory! Gue ga’ sengaja. Gue lupa, tadi bingkisannya gue taro situ, terus gue tinggal, gue lupa. Gue balik lagi, bingkisan itu dah ga ada.” terang Tania.

“Loe nyadar ga’ sih Tan, ini tuh saat-saat terakhir kita barengan. Ditambah lagi, Fahri. Dia lagi sakit Tania. Pastinya Fahri berharap klo semua bakal berjalan lancar. Loe sebagai ketua panitia, loe yang dipercaya Fahri buat nerusin tugasnya. Tapi loe yang ngerusak semuanya. Mana tanggungjawab elo Tania??” kalimat itu membuat Tania merasa sangat bersalah.

Terdengar ramai suara temannya yang menyorakinya, ”Iya, gimana sih Tania? Huuuuuu!!!!”

Down!! Tania menangis dan hanya bisa meminta maaf pada semua teman yang telah ia kecewakan.

”Temen-temen, maaf ya..Gue ga’ sengaja. Gue lupa. Maaaaaaaaf!! Hiks..hiks..hiks..hiks...”

”Kita kecewa sama loe Tan. Okey, kali ini loe kita maafin. Sekarang kita cuma mo bilang, klo sekarang....loe lagi kita kerjain Tania...”

”Happy birthday Tania!!!” ucap teman-temannya serempak.

Suasana ramai sekali. Tania baru menyadari bahwa hari ini, umurnya bertambah satu tahun. Bingkisan itu, ternyata ada dan disembunyikan oleh teman-temannya. Tania mengusap air matanya dan mengucapkan terimakasih pada semua.

Hari semakin sore, tak terasa telah berjam-jam waktu yang telah mereka habiskan di sana. Alam Puncak semakin gelap, semakin dingin, semakin sunyi, sepi. Mereka pulang. Terdengar riuh lagu-lagu konyol dinyayikan warga sepuluh tiga.

HaLuu Tan!!gmn??suKses kah??

SMS dari Fahri yang membuat semua rasa letih Tania hilang.

Alhamdulillah Fahr, hr ni smua b’jLn lncar..ni berkat doa lw..thanks ya..

Same2..o ia,,meT uLtaH ya Tan..gMn suRprizenya?? meyaKinKan kah?? kTnya lw mPe nangis sGaLa..ha..ha..ha..

Eh,,kerengejer..jd lw?? Tp,,gpp ciy..juStru ntu kado pLg bRkeSan buad w..sKaLi lg, thanks Fahr!!

Yoi...same2 gy deh..ywdh, w nganTuk. Tidur dL iaa!! Bye!!

oooooo0oooooo

“Tan! nih ada titipan dari Fahri.” ucap Rene sambil memberikan sepucuk surat kepada Tania. Tania langsung membuka surat itu, hatinya terasa bergetar seperti akan ada sesuatu yang terjadi.

Dear Tania,

Tan, gue harap pas loe lagi baca surat ini semuanya baik-baik aja. Tan, ga’ kerasa ya, dah setaun kita saling kenal. Banyaaak banget yang dah kita rasain bareng2. Tan, gue minta maaaaaaaph banget. Mungkin selama ini gue banyak buad salah ma loe, gue banyak bikin loe kecewa. Dan gue banyak bikin loe nangis. Gue tau itu kok. Sorry banget Tan, sorry banget!! Tan, makasih ya! Slama ni, loe dah ngasih perhatian yang lebih buad gue. Makasih Tan! Soal nunggu ujan, soal tiap pertandingan basket loe selalu ada, soal telepon itu, dan masih banyak lagi. Kemaren Rene dah certain semuanya ke gue. Tania, mungkin selama ini gue cume takut ngadepin soal perasaan. Gue takut sakit lagi Tan. ah, udahlah, ga’ usah dibahas. Ga penting. Gue cuma mau ngasih tau, sore ini gue harus berangkat ke Singapore, gue mau cari pengobatan yang lebih bagus di sana. Soal feeling, lupain gue Tan! gue yakin, di luar sana masih banyak cowok yang lebih bae dari gue, yang lebih pantes buad loe. Okey Tania, senyum dong!! He..he..he.. makaci ya..loe dah terlalu bae buad gue.. Makaciiiiii..banget!! dan soRRyyy banget. Moga kita bisa ketemu lagi…

Fahri

Tak terasa, air mata Tania telah tumpah sejak tadi. Rene yang berada di sampingnya hanya bisa menatap sahabatnya yang menangis. Suasana hening, yang terdengar hanyalah isak tangis Tania.

”Ren, Fahri Ren..dia mau pergi jauh..hiks..hiks..hiks..”

”Udahlah Tan, jangan nangis!! Sory ya! Terpaksa gue ceritain semuanya ke Fahri. Gue ga’ mau sohib gue sedih terus.” Tania diam, satu jam lamanya mereka di ruang kelas. Setelah tangisnya reda, Tania meminta Rene menemaninya ke airport sore ini.

Penerbangan lima belas menit lagi. Tania berlari mencari Fahri, Rene selalu setia menemaninya.

”Fahri....” teriak Tania. Fahri menoleh dan tersenyum simpul.

”Hey Tan!!” ucapnya lembut.

”Fahr, boleh gue pinjem pundak loe? Sebentar aja.” Pinta Tania sambil terengah-engah.

“Boleh..”

Tania bersandar dibelakang Fahri. Ia memeluk tubuhnya dari belakang dengan kedua tangannya. Ia menangis sedih karena ia akan kehilangan seorang Fahri untuk waktu yang cukup lama. Fahri berbalik dan medekap Tania. Erat sekali.

“Fahr, gue sayang sama loe. Hiks..hiks..hiks..”

“Gue juga Tan, tapi gue ga’ pantes buat loe. Loe lupain gue aja ya!”

”Hiks..hiks..hiks...” Tania tak sanggup lagi berbicara, isak tangisnya semakin kuat.

”Tania, jangan nangis!!” pinta Fahri padanya.

Tania melepas dekapannya. Kemudian ia mengusap air mata yang sejak tadi mengalir di pipinya.

”Ga’ kok, gue dah ga’ nangis kan? Makasih Fahr.”

”Sama-sama, senyum dong Tan!!”

Tania mencoba tersenyum, membuat hati Fahri lebih lega.

“Tan, gue pergi dulu ya!” pamit Fahri.

Pesawat akan segera berangkat. Fahri berbalik arah, berjalan meninggalkan Tania. Jarak dua meter, terdengar suara Tania.

”Fahr, gue seneng bisa kenal sama loe.”

Fahri hanya mengangguk dan tersenyum lebar. Kemudian melanjutkan langkahnya meninggalkan tempat itu. Tania terus menatap Fahri, sampai sosok bertubuh tinggi itu tak terlihat lagi.

”Ren, Fahri dah pergi.. gue ga’ tau kapan gue bisa ketemu lagi sama dia...hiks..hiks..hiks..”

”Udah ya Tan, loe jangan nangis lagi. Klo Fahri tau, nanti dia sedih lho..” hibur Rene.

Kedua bersahabat itu pergi meninggalkan airport. Tempat berakhirnya cerita antara Fahri dan Tania. Cerita yang banyak meninggalkan kenangan dan air mata. Because, love is sacrifice.

T H E E N D

Text Box: Leka Khajar Fiyanti SMA NEGERI 1 KEBUMEN