Apa Mungkin??

Apa Mungkin???

Kau membuat ku berantakan
Kau membuat ku tak karuan
Kau membuat ku tak berdaya
Kau menolakku acuhkan dirku
Bagaimana caranya untuk
Meluluhkan kerasnya hatimu
Ku sadari ku tak sempurna ku tak seperti yang kau inginkan
Kau hancurkan aku dengan sikapmu
Tak sadarkah kau telah menyakitiku
Lelah hati ini meyakinkamu
Cinta ini membunuhku....

Tak terasa air mata ini menetes di tengah lantunan lagu itu. Aku teringat akan seseorang. Seseorang yang dulu begitu ku kagumi. Dia seorang yang tampan, gagah, baik, bijaksana, bertaggungjawab, dan masih banyak lagi yang lain. Aku sungguh sangat mengaguminya.
Tapi itu dulu, ketika aku belum begitu megenalnya. Dulu ketika aku belum dekat dengannya. Sekarang, entah seperti apa perasaanku ini padanya. Marah, sedih, benci, kecewa, takut, meyesal, bercampur aduk menjadi satu. Bagai air keruh. Mungkin.
Aku tak tahu, apa yang terjadi padaku saat ini, perlahan aku seperti mulai membencinya. Aku merasa dia tak pernah peduli denganku, apapun yang ku lakukan untuknya. Entah, apa yang ada dalam pikirannya saat ini. Apakah marah, benci juga, segan, atau tak ada apapun. Hanya aku saja yang mengada-ada.
Hujan turun bertambah deras, menambah suasana menjadi semakin haru, mengenaskan. Bagiku. Air mata ini sulit dihentikan saat makin jelas bayanganmu yang terus menghantuiku. Berkali-kali aku mencoba berlari dari semua ini. Tapi, tetap tak bisa. Tak bisa. Tak bisa. Entah sampai kapan.
Air mata semakin basah terasa, aku tak bisa bayangkan seperti apa bentuk mukaku. Aku seorang Ega yang dikenal selalu ceria, yang tak pernah sedikitpun termenung, yang lihai menyembunyikan perasaanya. Sedu, sayu, hampa.
Aku memang bukanlah siapamu Dimaz, tapi aku hanya ingin.......
”Ega.........!!!” suara mama mengagetkanku.
Aku bergegas mengusap air mataku yang tadi tumpah. Buyar semua.
”Ada apa ma?”
”Ada telepon dari Dimaz.”
Aku tersentak. Ada apa dia menelponku. Tak biasanya. Baru saja aku menangis karenanya. Segera ku perbaiki suaraku yang tak jelas bentuknya.
”Hallo!”
”Hallo, ini Ega?” suara dari seberang yang membuat hatiku tak karuan.
”Iya, ada apa Dim?”
”Oh, ga’ ada apa-apa, aku cuma mau pastiin kalo kamu lagi di rumah.” suara Dimaz yang akrab ku dengar. Aku hanya bisa terdiam. Tak menjawab satu kata pun.
”Ega, kamu kenapa? Kamu lagi nangis?”
Sungguh aku tak dapat menahan lagi, gagang telepon kuletakkan lagi, dan aku berlari ke kamar. Mama hanya bingung melihat tingkahku yang belakangan agak aneh.
Tangisan yang tadi sudah reda mulai mengalir lagi. Sungguh benar-benar aku tak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Tiba- tiba ku dengar deringan handphoneku, telepon dari Dimaz. Sengaja aku membiarkannya. Aku tahu, jika aku mengangkatnya pasti aku takkan bisa bicara sedikitpun. 7 panggilan tak terjawab. Maaf Dimaz, sepertinya aku harus membuat jarak denganmu. Aku terus menangis, menangis dan menangis. Tak ada satupun orang yang tahu, hanya tetesan air hujan yang menemaniku saat itu. Aku tertidur.

......................................................................................................................

”Ega maaf kalau aku bikin kamu nangis, sunguh aku ga’ sengaja.. Aku ga tahu kalau aku dah bikin kamu nangis.. Ega, pliss..maafin aku..maafin aku iaa...”
Aku tak tahu apa yang baru saja ku lakukan hingga Dimaz berkata seperti itu padaku. Aku juga tak tahu aku menangis karena apa.
Sejak kejadian itu, Dimaz berubah, dia mulai memperhatikanku. Aku merasakannya. Aku seperti tak percaya bahwa ini akan terjadi. Malam hari, ketika semua telah terlelap dalam tidurnya. Handphoneku berdering. Ada pesan singkat ”087837959913”

”Noting! I’m just afraid of being on this side of love. Biarlah yang dulu jadi masa laluku dan kau menjadi masa kini dan masa depanku.”

What?? Siapa nih? Aku bertaya-tanya dalam hati. Lalu, ku jawab pesan itu.

”Maksudnya apa?? Trz ni siapa, Kamu salah kirim pa?? Ato lagi mabok gitu??”

”ga’ kok, aku ga lagi mabok..”

Dia tak mejawab dan mengatakan siapa dia sebenarnya. Mungkin aku akan senang ketika aku tahu siapa dia sebenarnya, tapi rasa senang itu akan menjadi perasaan semu karena aku tak pernah tahu siapa dirinya. Bahkan suatu hari nanti aku akan meyesal, karena aku tak pernah tahu siapa orang yang akan menjadikanku sebagai masa kini dan masa depannya.
Cerita itu berakhir di situ saja, orang itu tak pernah lagi menghubungiku.
Rabu pagi, ketika aku sampai di sekolah, anak-anak telah menunggu. Kami ingin membicarakan recana liburan bersama yang telah kami rencanakan jauh hari. Tapi, Dimaz sebagai ketua kelas belum juga datang, ku coba menghubungi nomornya tapi tak kujung aktif. Terakhir aku bertemu dengannya hari Sabtu itu, dan terakhir aku berhubungan degannya ketika dia memita maaf padaku lewat pesan singkat itu. Sejak itu, tak ada lagi yang tahu dimana Dimaz, kuhubungi tempat kosnya, tapi Dimaz tak ada. Tak ada yang tahu di mana rumah Dimaz, karena jaraknya terlalu jauh dari sekolah. Akhirnya kami membicarakan recana liburan tanpa kehadiran ketua kelas, mau bagaimana lagi, ini semua terpaksa, tak ada yang tahu dimana Dimaz. Bagai ditelan kloset (he..he..he..)
Sudah beberapa hari ini Dimaz tak kelihatan batang hidungnya, aku merasa sedikit khawatir, apa dia sakit? Terkadang aku berpikir, sebentar lagi kita berpisah, aku mengambil jurusan IPS dan dia mengambil jurusan IPA. Pasti dia akan melupakanku. Bahkan mengenalku lagi saja tidak, karena terlalu banyak urusan dan tak ada waktu lagi untukku. Aku takut kehilangan. Kehilangan sesuatu yang terbiasa ada dalam hatiku. Heeeeh.... Dimaz.
Keesokan harinya, akhirnya ku lihat juga batang hidungnya.
”Woy, kamu kemana aja?? HP ga’ aktif, di tempat kos kagak ada, rumah ga’ tau dimana.. Anak-anak dah pada nyari tuh. Liburannya jadi ga’??”
”Ooh..jadi dong. Kemaren aku di rumah kok, biasa...lagi males ke sekolah. Abiz jauh sih..”
”Hoooo... makanya punya rumah tuh jangan di pelosok ya Maaas..”
Kami memang hobi saling meledek. Becanda itu tak berlagsung lama ketika Endi datang dan megajak kami untuk membicarakan masalah liburan tadi. Usai rapat, Dimaz berkata bahwa ia ingin bicara padaku. Ia memintaku datang di depan kelas. Ketika aku datang, banyak teman-teman yang menemaninya. Lalu Dimaz berkata, ”Ega, sebelumnya aku minta maaf kalau aku sering bikin kamu nangis, bikin kamu marah, bikin kesel, bikin jengkel, dan lain-lain deh.. maaaaf banget.!!”
”Ih, apaan sih Dim, jangan becanda dee,, jangan sok teu..” kataku untuk mencairkan suasana yang begitu tegang bagiku
”Aku ga’ sok teu, aku emang tau, dan aku ga’ lagi becanda..aku serius..”
Hati ini terasa semakin berdebar. Tak tahu apa yang harus ku lakukan. Lalu, dia meneruskan kalimatnya yang telah terangkai rapi.
”Sebenernya, yang kemarin SMS kamu itu aku, dan selama beberapa hari ini aku ga’ masuk karena aku ga’ tau apa yang harus aku lakuin buat kamu di saat-saat terakhir kaya gini.. ”
Tak tau apa yang baru saja terjadi, aku seperti mimpi. Apa mungkin ini benar-benar terjadi?? Apa mungkin Dimaz berkata ini padaku??
”Ega, tenang aja deh, kamu ga’ lagi ngayal kok, dan aku ga’ lagi mabok..he..he..he..”
”Terus, mau kamu aku gimana?” tanyaku menanggapi pembicaraannya dari tadi.
”Kamu mau jadi cewek ku??”
”Gubrraaaaaaggggg...” aku seperti ingin pingsan, oh tak terbayang.. Tuhan, apa ini benar-benar terjadi?? Apa mungkin??
”Krrrrrrrrrrriiiiiiiiiinnggg......” Suara jam beker yang begitu mengagetkanku. Oh tidak, ternyata cuma mimpi. Uuuuh, andai saja itu benar-benar terjadi.

0 komentar: