Gue akan Tunggu Elo Dave!!

Siapa yang nggak kenal sama Dave? Cowok paling kinclong dan tenar di sekolah. Tajir, keren, gaul, dan so cool. Mungkin cuma cewek stress yang nggak ngejar-ngejar dia. Ya, Dave Malihandro. Cowok blasteran Indonesia-Afghanistan ini selalu jadi perhatian para cewek seantero sekolah.
Gue? Gue Rara Setyowati. Cewek asli keturunan Jawa yang lahir dari keluarga sederhana. Nggak gaul, dan juga nggak so cool. Tapi setidaknya muka gue nggak buruk-buruk banget lah. Gue sama Dave memang bertolak belakang. Kalau tadi cewek stress yang nggak ngejar-ngejar Dave, kalau sekarang cowok stress yang ngejar-ngejar gue.
Ngomong-ngomong soal orang stress, satu prestasi baru buat gue. Lo tahu? Gue satu-satunya cewek stress di SMA Putra Bangsa ini. Ya, gue satu-satunya cewek yang nggak tergila-gila sama Dave. Bukan maksud gue sombong nih, tapi memang gue nggak tertarik sama cowok kayak Dave. Si Artis Lokal SMA Putra Bangsa. Di samping memang gue akuin, impossible banget kalau gue ngarep jadi ceweknya. Haha..
“Dave lagi.. Dave lagi…” protes gue saat istirahat di tengah pergosipan tentang Dave.
“Yah, elo Ra. Lo nggak tahu Dave sih. Eh, berita baru nih, Dave lagi jomblo tuh sekarang.” oceh teman gue, Chika.
“Trus kenapa? Lo mau daftar?” tanya gue meledek.
“Ya, gue mau daftar Ra, gue udah tergila-gila sama Dave. Sampai kapanpun gue bakal nge-fans berat sama Dave. Biar dia berubah jadi kodok, tetep gue kejar. Oooh.. Dave..”
“Dasar lo!!” gue tonyol kepala Si Chika Oneng itu.
Begitulah suasana sekolah gue setiap hari. Tiap detik selalu terdengar nama Dave. Nggak ada berita yang lebih menarik kecuali berita tentang Dave. Itu berlaku buat teman-teman gue. Buat gue? No way!! Mau Dave jungkir balik buat senam kebugaran tubuh, atau dia nyebur empang buat lulur tren baru. Gue nggak peduli.
--
Entah ini cobaan atau bukan. Sayangnya, mau nggak mau gue harus sering-sering berhubungan sama Dave. Bencana buat gue. Gue sama Dave ikut seleksi redaksi majalah. Dia terpilih jadi ketua, dan gue jadi wakilnya. Egh, benar-benar musibah. Nggak tahu gimana jadinya gue nanti.
“Eh, Ra! Lo wakilnya kan? Hmm, lo harus patuh ya sama gue. Apa kata gue, lo harus nurut.” ucap Dave setelah rapat re-organisasi kepengurusan.
Sialan banget tuh orang. Belum apa-apa aja dia udah belagu. Harus sabar. Harus sabar. Kalau redaksi majalah sekolah bukan obsesi gue, gue nggak akan ikutan seleksi itu sejak gue tahu Dave juga ikut.

Satu bulan kemudian....
Beberapa kali bareng Dave, gue mulai kenal dia sekarang. Ternyata dia nggak seburuk yang gue kira. Mungkin, dia mulai buat gue luluh. Heh, kayaknya gue harus jilat ludah gue sendiri. Tatapan mata Dave. Itu senjata ampuh dia buat menaklukan cewek-cewek seantero sekolah. Bodohnya gue, gue juga terjebak karena tatapan itu.
“Ra, bikin surat undangan buat rapat!”
“Ra, lo wakilin gue rapat ya!”
“Ra, kumpulin anak-anak dong!”
Tatapan matanya yang selalu buat gue terhipnotis untuk berkata “Ya.” dan sulit untuk berkata “Tidak.” Setelah itu, gue menjalaninya dengan penuh rasa menyesal dan nggak ikhlas. Gue sendiri nggak tahu perasaan macam apa ini. Perasaan harus patuh sama penguasa? Atau perasaan harus berkorban sama orang yang secara nggak sadar gue sayang? No! Nggak mungkin gue jatuh cinta sama Dave, Si Playboy Kacang yang sok bossy. Perasaan gue sama Dave ini memang susah banget gue jelasin. Terkadang gue merasa harus ada buat Dave, kadang gue sebel banget sama tingkah Dave, dan kadang-kadang juga gue bisa terbang melayang kalau Dave mulai tatap gue pakai matanya yang ajaib itu. Nggak tahu deh. Tak terdefinisikan pokoknya. Coba aja gue bisa. Gue akan colok mata Dave saat dia mencoba untuk menghipnotis gue. Tapi sayangnya, gue selalu gagal.
--
Ra, temenin gue sekarang. Gue udah di depan rumah lo!!
SMS dari Dave. Sialan banget tuh cowok. Nggak ngerti ini jam berapa dan waktunya orang apa? Jam 11 malam. Di mana orang-orang udah mulai ngantuk dan mata redup tertutup. Lagi-lagi perasaan itu. Perasaan harus ada kapanpun dia butuh gue. Gue ambil sweater, plus dompet kecil di atas meja kamar gue. Dengan langkah kaki yang sangat berhati-hati, gue diam-diam keluar rumah. Perbuatan yang nggak baik nih. Jangan ditiru ya!
“Apaan sih lo Dave? Gila lo ya? Jam berapa nih?” oceh gue ketus. Antara perasaan kesel, tapi harus ngejalanin.
“Udah lo naik!” Dave aneh banget malam ini. Nggak sedikitpun dia buka kaca helmnya. Dia juga sama sekali nggak menengok ke belakang waktu gue naik motornya. Gila nih orang, nggak lihat-lihat gue siapa. Untung aja gue bukan kuntilanak yang suka nangkring di motor orang.
Perjalanan kira-kira 20 menit. Gue sama Dave sampai di suatu tempat. Tempat itu bagus banget. Dia ngajak gue ke suatu danau di mana ada kunang-kunang bertebaran kelap-kelip. Indah banget. Gue baru tahu ada tempat begini.
Dave masih datar. Diam. Melihat jauh ke depan, tapi nggak fokus dengan apa yang sedang dilihatnya. Dia nggak kayak biasanya hari ini. Dingin banget.
“Lo kenapa sih Dave?” ucap gue mulai pembicaraan.
“Cuma pengen ke tempat ini. Tempat ini tuh penting banget buat gue.”
“Iya, tapi lo gila! Ke sini malem-malem, jam segini. Pake ngajak-ngajak gue. Tadi gue udah mau molor tau!!”
“Sorry!”
What?? Sorry?? Udah sebulan lebih dia partneran sama gue. Udah beribu, bahkan berjuta kali dia buat gue kesel. Baru sekali ini dia bilang sorry ke gue. Belum cukup Dave!
“Lo tau Ra?” dia mulai berkata-kata lagi nih.
“Ya nggak tau lah. Kan lo belom kasih tau gue.” balas gue untuk menghilangkan suasana yang horor ini. Heh, gue benci banget sama kesunyian.
Dave yang gue tahu adalah pribadi yang konyol dan egois. Pokoknya nyebelin banget. Keajaiban dunia ke-11 kalau dia tiba-tiba ngomong serius.
“Ra, gue serius. Gue lagi nggak mood becanda.”
“Oke.” dengan terpaksa lagi gue harus menuruti dia. Jujur, gue benci banget suasana kayak gini.
“Mungkin lo tau….” Dave memulai ceritanya.
“Ya, gue tajir, gue keren, gue juga tenar...” ucap Dave yang masih menggantungkan kalimatnya.
Gue sebel lihat mukanya. Narsisnya kumat.
“Tapi lo perlu tahu Ra, gue nggak se-perfect yang orang-orang kira.”
“Maksud lo?” gue mulai nggak loading sama omongannya Dave.
Dave terdiam beberapa detik, kemudian meneruskan ceritanya.
“Orang tua gue yang sekarang bukan orang tua kandung Ra. Orang tua kandung gue dah meninggal belasan tahun yang lalu pas gue masih kecil. Gue tinggal sama om dan tante gue yang sekarang udah jadi orang tua angkat gue. Tapi mereka terlalu sibuk ngurusin kerjaannya. Gue selalu sendiri Ra. Gue sering banget ngerasa kesepian. Nah, kalo gue kesepian, gue ke tempat ini. Karena gue bisa ngerasa nyaman banget di tempat ini.“ tutur Dave dengan senyum simpulnya.
Dave lagi-lagi tatap mata gue. Deg!! Perasaan gue tiba-tiba berubah. Jantung gue berhenti satu detik, kemudian berdegup kencang. Dave, gila! Jangan buat gue kayak gini. Gue bisa pingsan.
“Nggak usah gitu deh ngeliatinnya.” akhirnya gue bisa kontrol diri gue.
Gue dorong Dave sampai dia berhenti menatap gue. Dia terdorong agak jauh dari posisi gue sekarang.
“Lo tau Ra. Ternyata kalo diliat-liat lo manis juga.” sekali lagi Dave buat gue jadi nggak tahu harus berbuat apa. Gue nggak bisa bayangin muka gue sekarang. Mungkin kayak cumi goreng merah yang masih panas di tengah malam. Aneh kan?
“Ra, ngapain lo bengong?” tanya Dave sambil mengaling-alingkan tangannya di depan muka gue.
“Kita pulang yuk!” ajak Dave ke gue yang masih salting dan bingung harus ngapain.
“Ayoooo….” Dave dengan paksa tarik tangan gue yang masih tetap planga-plongo nggak jelas.
Gue dan Dave naik motor menuju pulang.
--
“Ra, lo mau nggak jadi cewek gue?”
Satu kalimat yang nggak terlupa sejak sebulan lalu. Dia nembak gue. Tiga hari setelah kejadian di danau malam itu. Nggak pernah terbesit di pikiran gue kalau gue jadi ceweknya Dave. Tapi itulah kenyataannya sekarang. Chika apa kabar? Hehe, dia senang-senang aja tuh. Gue masih damai kok sama Chika. Dia bisa terima gue jadi ceweknya Dave. Perasaan Chika ke Dave hanya sebatas perasaan antara fans dengan idolanya. Kalau gue? Lebih dari itu.
Minggu pertama jadian, Dave begitu baik sama gue. Dia ngelidungin gue, dia ngerti apa yang gue mau dari dia. Dave penuh dengan kejutan.
“Ra, ntar malem jam tujuh lo gue jemput ya!” suara Dave di telepon.
Dave ngajak gue ke rumahnya.
“Malam Ra!” ucap Tante Tari begitu gue masuk pintu utama rumah Dave.
“Malam Tante!”
“Dave-nya lagi ke toilet dulu. Kamu tunggu aja di situ ya.!” kata Tante Tari sambil nunjukkin gue ke sebuah ruangan. Ruangan kesayangan Dave.
Gue masuk ke ruangan berwarna dominan biru itu. Gue lihat ke sekeliling ruangan, Dave memang tergila-gila sama birunya laut. Lalu, pandangan gue mulai tertuju pada sebuah meja besar. Di atasnya ada banyak barang koleksi yang tertata dengan sangat rapi. Gue kaget saat gue mendekati meja itu, gue lihat barang-barang yang jelas gue tahu siapa pemiliknya. Kotak pensil Tiara, jepit rambut Chika, jam tangan Andre, dan barang-barang lain yang gue sendiri nggak tahu kenapa bisa ada di ruangan Dave. Dave nggak tahu sih, betapa sewotnya Chika begitu tahu jepit rambut barunya hilang. Bisa tamat sejarahnya Chika nge-fans sama Dave.
Sebelum gue sempat sentuh barang-barang itu, Dave tiba-tiba datang dengan muka merah.
“Siapa yang suruh lo masuk ruangan ini Ra???!!” Dave kelihatan begitu marah sama gue.
“Sory Dave, ee.. ee.. tadi guee…”
“Keluar sekarang!!!!” bentak Dave sangat keras.
Jatung gue berdegup kencang. Gue nggak nyangka kalau Dave akan semarah itu sama gue. Gue keluar dari ruangan itu. Sampai depan rumahnya, Dave menghentikan langkah gue.
“Ra, tunggu!!” pinta Dave.
Gue berhenti dan berbalik kearah Dave. Raut mukanya berubah. Datar, tenang, dingin, dan putus asa.
“Ra, gue mohon lo jangan bilang siapapun soal ini.”
“Dave, gue nggak nyangka.. ternyata elo….”
“Ya, gue klepto.”
Kalimat yang baru aja gue dengar, buat gue benar-benar shock. Gue nggak pernah nyangka ini semua. Dave seorang klepto??
“Kenapa? Lo malu punya cowok klepto?” tanya Dave sinis.
Mulut gue serasa terkunci. Gue nggak bisa berkata apapun.
“Mulai sekarang kita putus Ra!!”
Gue nggak tahu harus berbuat apalagi sekarang. Kata putus udah keluar dari mulut Dave. Haruskah gue terima keputusannya?
“Dave, please jangan kayak gini! Gue bisa ngerti elo Dave. Gue sayang sama lo!” ucap gue meyakinkan Dave.
“Bulshit Ra! Pergi lo! Sekarang gue udah nggak butuh elo!”
Beribu penjelasan nggak akan mempengaruhi Dave yang sedang kalut. Dave, apapun kekurangan lo, gue bisa terima elo. Andai lo tahu Dave, gue pengin banget ada di samping lo sekarang. Menghapus air mata lo yang mengalir.
--
Setelah kejadian malam itu di depan rumah Dave, gue nggak pernah lihat Dave. Dave tiba-tiba menghilang begitu aja. Gue tanya teman-temannya, tapi nggak satupun tahu dimana keberadaan Dave. Nomor ponselnya selalu nggak aktif. Dave, dimana lo sekarang?
“Ra, ada titipan nih.” panggil Dito, sohibnya Dave.
Dia mengulurkan sepucuk surat beramplop biru.
“Ya udah Ra, gue cabut ya.” kata Dito menyadarkan gue dari lamunan yang terus memikirkan Dave.
Gue buka amplop surat itu.
Dear Rara,
Ra, sekarang lo udah tau kalo gue klepto. Lo udah tau kalo ternyata gue yatim piatu. Lo udah tau semuanya tentang gue. Bukan sebuah keputusan yang bijak kalo begitu aja gue mutusin elo. Gue tau, lo pasti nggak terima dengan semua ini. Maafin gue Ra! Tapi jujur, sebenernya gue masih sayang sama lo. Gue malu sama lo Ra. Gue ngerasa nggak pantes buat lo. Malam kemarin mungkin jadi malam terakhir buat lo ngeliat gue untuk sementara. Gue janji sama lo. Gue bakal sembuh, dan gue akan kembali buat lo. Sampai jumpa Ra. Lo harus inget, gue selalu ada buat lo.

Dave

Air mata gue turun saat gue baca kalimat terakhir Dave. Lo bohong Dave! Lo bohong! Lo bilang lo selalu ada buat gue? Tapi nyatanya? Sekarang lo pergi Dave. Lo ninggalin gue. Gue nggak tahu kapan gue bisa ketemu lo lagi.
Gue lari secepat mungkin untuk mengejar Dito yang mulai jauh dari gue.
“Dito, tunggu!” teriak gue dari jarak tujuh meter.
“Dit, Dave kemana?” tanya gue putus asa.
“Sorry Ra, gue udah janji sama Dave untuk nggak ngasih tau elo.”
“Tapi Dit, gue ceweknya. Gue berhak tau.”
“Sorry Ra. Gue nggak bisa ngasih tahu lo sekarang. Yang jelas, Dave udah nggak di kota ini, dia udah pergi kemarin untuk cari tempat yang lebih baik buat dia. Dia pesen ke gue untuk bilang ke elo kalo dia masih sayang sama lo, Ra.” jelas Dito.
Gue mulai nggak peduli sama penjelasan Dito. Suaranya terdengar samar-samar di telinga gue. Gue terlambat. Dave udah pergi jauh, gue nggak tahu dimana dia sekarang. Pandangan gue mulai kabur. Gue berjalan tak tentu arah, dunia serasa memutar-mutar tubuh gue yang oleng. Semuanya tiba-tiba gelap.
Okey Dave, good luck buat lo! Gue yakin lo bisa sembuh. Gue akan tunggu elo Dave!

THE END